Minggu, 25 November 2012

Final Softskill SIP



JURNAL 1
Desain Interaksi dalam Pengembangan Aplikasi E-Voting Studi Kasus: Pemilihan Umum Raya KM-ITB

Saat ini, peralihan kegiatan manusia dari real space ke electronic space semakin besar. Hampir seluruh kegiatan manusia saat ini ada pengejawantahan elekroniknya, seperti perbankan menjadi ebanking, penjualan menjadi e-commerce, pembelajaran menjadi e-learning, dan sebagainya. Hal itu dirasa dapat mempermudah kegiatan manusia serta menghemat waktu dan sumber daya Hal ini juga mencerminkan peluang untuk pengembangan aplikasi pemungutan suara bersifat menjadi e-voting. Dalam penerapan e-voting pada pembahasan ini, harus terjamin tercapainya parameter keberhasilan pemilu dan terpenuhinya user experience dan usability goal. Pertama-tama, dilakukan tinjauan pustaka dengan studi literatur tentang e-voting pada umumnya dan sistem pemilu raya KM-ITB yang ada saat ini. Selanjutnya hasil dari tinjauan pustaka akan dianalisis prospek yang mungkin ada untuk penggabungan keduanya. Lalu identifikasi kebutuhan interaksi dilakukan untuk memenuhi tiga parameter utama. Hal itu kemudian akan diterapkan pada sebuah desain dan implementasi produk interaktif. Tahap protoyping ini dilakukan dua kali, dengan diselingi oleh sebuah pengujian dan revisi. Pada desain interaksi ini, diperlukan keterlibatan calon user, yaitu mahasiswa ITB (pemilih yang sesuai dengan peraturan Pemilu Raya KM ITB).
Kemudian dilakukan evaluasi untukmenentukan ketercapaian paramaterutama. E-voting adalah sebuah sistem pemilihan yang mengizinkan pengguna untuk merekam pilihan di kertas suara secara elektronik E-voting menjadi sangat prospektif untuk digunakan karena memiliki kelebihan
dibandingkan pemilihan konvensional, sebagai berikut :
1. Meningkatkan kecepatan dan akurasi perhitungan suara.
2. Menghemat material yang diperlukan untuk mencetak dan mendistribusikan kertas suara.
3. Menawarkan kemudahan akses yang lebih baik bagi orang-orang dengan ketidakmampuan (cacat).
4. Menawarkan sebuah desain kertas suara yang fleksibel.
5. Menyediakan berbagai bahasa untuk kertas suara.
6. Membolehkan akses kepada informasi mengenai opsi pemilihan.
7. Menghindari kesalahan yang tidak sengaja dilakukan oleh pemilih (baik over voting atau under voting).
Dalam e-voting, terdapat syarat minimum yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Fungsional
a. Akurat, aman, reliable.
b. Mampu memberikan kemudahan dalam perhitungan.
c. Mudah untuk digunakan.
d. Transparan dan mudah dipahami.
e. Menghindari over votes (memilih lebih dari satu kali) dan meminimkan under votes (atau biasa disebut golput).
f. Pemilih dapat mengganti suara selama masih dalam proses pengisian kartu suara.
g. Mengakomodasi kebutuhan pemilih yang memiliki keterbatasan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil pengujian sebagai Konsep desain interaksi dapat diterapkan dalam proses pengembangan aplikasi e-voting, dengan memperhatikan faktor-faktor berupa usability sistem dan user experience. Kemudian konsep desain interaksi dapat membantu pemenuhan kriteria keberhasilan pemilu raya KM-ITB, yaitu dengan meningkatkan partisipasi massa kampus, meningkatkan kedekatan antara massa kampus dan calon, mempermudah pelaporan pelanggaran dan klarifikasinya, dan menciptakan pemilu raya KM-ITB yang luber dan jurdil.

Megariza. (2012). Desain interaksi dalam pengembangan aplikasi E-Voting studi kasus: pemilihan umum raya KM-ITB. Jurnal Sarjana Institut Teknologi Bandung Bidang Teknik Elektro dan Informatika.

JURNAL 2
Penerapan Learning Content Management System Pada Proses Pembelajaran Menggunakan Metodologi Prototyping

Penelitian ini berupaya menghasilkan sebuah sistem yang memiliki sebuah tujuan besar yaitu mengembangkan sebuah rancangan sistem yang dapat mendukung pencarian riset, publikasi hasil riset yang menghasilkan knowledge sharing. Dalam pengembangannya, sistem ini memanfaatkan peranan LCMS sebagai salah satu kakas pendukung sistem pembelajaran serta menggunakan metodologi prototyping dalam membantu proses penerapan LCMS.
Penelitian ini dimulai dengan studi literatur mengenai konsep belajar, manajemen konten, metodologi prototyping, jenis requirement, dan konsep desain interaksi. Selanjutnya
dilakukan pengembangan sistem dengan tahap analisis, perancangan, implementasi, dan evaluasi sistem dalam dua versi.

Studi literatur
Studi literatur terdiri dari konsep belajar, manajemen konten, metodologi prototyping, jenis requirement, dan konsep desain interaksi.
A. Belajar
Belajar adalah proses dari tidak tahu mejadi tahu, namun esensi sebenarnya adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri pembelajar. Proses dalam belajarlah yang berperan
penting dalam pembentukan tingkah laku tersebut. Dalam belajar dimiliki tujuan yang ingin dicapai (achievement) yang dipengaruhi oleh tingkat kedalaman/kepahaman belajar.
Selain itu pengetahuan yang didapat dari hasil belajar harus disebarkan (share) agar dapat dimanfaatkan oleh banyak orang.
1) Learning Achievement menunjukkan tahap pencapaian pada proses belajar. Benjamin Bloom mendefinisikan adanya taksonomi belajar yang terdri dari 6 tahap learning
achievement, yaitu: knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation.
2) Knowledge Sharing adalah bagaimana pengetahuan dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan kepada orang lain. Maier mendefinisikan knowledge sharing sebagai proses
dari satu orang (source) yang memutuskan untuk membagi pengetahuan, mengingat sepotong dari pengetahuan, menjelaskan onteks dari informasi pada sebuah media, secara aktif maupun pasif menyampaikannya ke orang lain (recipient) yang menerjemahkan informasi ke konteks yang diberikan agar pengetahuan direkonstruksikan dan diintegrasi dengan basis pengetahuan orang tersebut.
B. Manajemen Konten
Manajemen Konten adalah sebuah disiplin yangmelibatkan kumpulan, pengelolaan, dan publikasi konten dengan peraturan, metode, alur kerja yang terdokumentasi, dan kakas teknik yang sudah didefinisikan denan jelas untuk sistem publikasi yang efektif.
1) LCMS (Learning Content Management System)
merupakan sebuah kakas pengelolaan konten khusus untuk sistem pembelajaran. LCMS memiliki 6 fitur, yaitu learning content creation, publishing, content management function, presentation, communication and collaboration, dan standard compliant.
2) Siklus Hidup Konten ada tujuh, yaitu organization, creation, storage, workflow, versioning, publishing, danarchives.
C. Metodologi Prototyping
Prototyping adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat bentuk yang lebih representatif dari rancangan yang sudah dibuat. Hal ini dilakukan agar pengembang sistem dapat melihat bagaimana sistem akan bekerja nantinya. Bischofberger mendefinisikan adanya tahap-tahap dalam prototyping, yaitu: requirement analysis, requirement definition, design, implementation, evaluation of current system, diulang lagi ke tahap requirement definition, dan jika requirement sudah dirasa final maka masuk ke tahap operation dan maintenance.

Simpulan dari penelitian ini adalah penelitian menghasilkan sistem yang dapat membantu pencarian hasil riset dan publikasi konten, baik itu berdasar hasil pengujian maupun fungsionalitas lain dari sistem itu sendiri. kemudian LCMS dapat memberikan suatu nilai tambah bagi sistem yang dihasilkan karena baik siklus maupun fungsi LCMS menyediakan rancangan dasar dari sistem yang ditujukan untuk pembelajaran. Metodologi prototyping memberikan nilai tambah bagi pembangunan sistem karena kita dapat melihat adanya perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan serta mendapat masukan langsung dari pengujian sistem dari sudut pandang partisipan pengujian yang nantinya akan jadi pengguna dari sistem ini. Knowledge sharing sudah tercapai pada sistem ini, walaupun masih dalam lingkup yang kecil, tetapi sebenarnya memiliki potensi yang lebih besar.

Wiradinta, G. (2012). Penerapan learning content management system pada proses pembelajaran menggunakan metodologi prototyping. Jurnal Sarjana Institut Teknologi Bandung Bidang Teknik Elektro dan Informatika.


JURNAL 3

Perancangan Sistem Informasi Pada Jalur Pendidikan Informal Dengan Menggunakan Information Evolution Model

Pendidikan pada jalur formal bukan satu-satunya jawaban untuk membangun karakter dan kecerdasan yang baik bagi masyarakat. Pola pendidikan informal dapat menjadi alternatif pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat keberlangsungan pendidikan formal di Indonesia belum dapat dilaksanakan 100% untuk masyarakat. Pendidikan formal hanya berlangsung disekolah dan dilakukan dengan interaksi massal, bukan melalui pendekatan individu. Sedangkan pendidikan informal memungkinkan terjadi interaksi antarindividu yang dapat dilakukan kapanpun, oleh siapapun, dan melalui media apapun. Peran media komunikasi digital sangat diperlukan untuk membangun bangsa melalui informasi yang terarah dan inspiratif. Pendidikan informal dengan memanfaatkan media digital dapat mempercepat penyebaran informasi yang bermanfaat bagi individu maupun komunitas. Untuk dapat menerapkan sistem informasi yang mengembangkan pendidikan informal, terlebih dahulu dilakukan penelitian yang melibatkan masyarakat suatu komunitas agar dapat diukur dan dijadikan sebagai model penelitian.

Komunitas belajar yang menjadi studi kasus penelitian adalah komunitas belajar TABOO. Dalam komunitas belajar TABOO, peran pelaksanaan pendidikan informal dilakukan oleh Pengurus Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Pelaksanaan pendidikan dilakukan dengan menjalankan program-program kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dan menyebabkan pengembangan karakter individu. Komunitas belajar TABOO merupakan organisasi terbuka yang dipimpin oleh dewan pembina, pembimbing, dan ketua PKBM sebagai pengambil keputusan dalam organisasi.Ketiga posisi tersebut disebut juga sebagai tataran direksi. Namun, setiap program yang berjalan diurus oleh koordinator divisi program, sehingga tataran direksi tidak berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan peserta komunitas belajar. Pengelolaan informasi dalam organisasi diukur berdasarkan model Information Evolution terbagi dalam empat dimensi, yaitu dimensi infrastruktur, dimensi knowledge process, dimensi sumber daya manusia, dan dimensi budaya. Tingkat pengelolaan informasi komunitas belajar ditentukan dari keempat dimensi yang menyusun kematangan pengelolaan informasi organsiasi. Pengelolaan informasi dalam keempat dimensi tersebut saling berhubungan dan membentuk penilaian terhadap tingkat kematangan organisasi. Penilaian persepsi terhadap pandangan masyarakat ini dilakukan dengan analisis deskriptif berdasar pada pengolahan data yang dilakukan. Seluruh responden yang ditanyai secara acak dalam penelitian ini menyatakan bahwa komunitas belajar TABOO memberikan manfaat bagi dirinya ataupun kepada masyarakat sekitar. Sebesar 92% responden mempercayai kegiatan belajar mengajar yang berjalan, hal ini menunjukkan komunitas belajar dapat diterima oleh masyarakat sebagai salah satu sarana pendidikan komunitas. Jumlah tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat bergantung pada pembelajaran yang diberikan oleh komunitas belajar. Peluang mengembangkan komunitas belajar dapat didukung dengan memanfaatkan teknologi informasi.
            Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perancangan sistem informasi SIPPI berhasil memberikan rekomendasi sistem informasi pembelajaran informal dengan hasil yang baik, melalui langkah perancangan yang runut dan komprehensif.
2. Berhasil mengetahui kondisi pengelolaan informasi dan mampu mengembangkan tingkat kematangan pengelolaan informasi dalam komunitas belajar informal.
3. Berhasil mengukur dampak komunitas belajar terhadap manfaat bersih yang dirasakan masyarakat. Penjabaran tentang manfaat bersih yang dirasakan masyarakat dapat dilihat pada butir-butir berikut:
a. Manfaat bersih yang dirasakan langsung oleh masyarakat sangat besar, pengujian dilakukan dengan metode analisis deskriptif.
b. Manfaat bersih yang dihitung melalui pengolahan data D&M menunjukkan keterhubungan yang kecil antara komunitas belajar terhadap masyarakat.
4. Berhasil merancang sistem informasi pendukung proses pendidikan komunitas belajar informal. Sistem tersebut terdiri dari empat butir bahasan, yaitu desain arsitektur alur sistem, desain penyimpanan data, desain interaksi sistem, serta spesifikasi dan kebutuhan sistem.

Prawidar. D. (2012). Perancangan sistem informasi pada jalur pendidikan informal dengan menggunakan information evolution model Studi kasus: Komunitas Belajar TABOO. Jurnal Sarjana Institut Teknologi Bandung bidang Teknik Elektro dan Informatika

JURNAL 4
Pembangunan Prototype Antarmuka Music Player dengan Fokus pada Faktor Emotionalexperience

Sebuah alat dikatakan baik jika alat tersebut dapat menghasilkan sebuah experience dalam penggunaanya. Pada alat music player, experience didapatkan dari musik yang dijalankannya. Untuk mendapatkan sebuah antarmuka music player yang dapat memaksimalkan experience yang dihasilkannya, perlu dilakukan analisis pengguna terkait tujuan penggunaan alat, mental model pengguna, serta kebiasaan pengguna terkait music player maupun diluar music player. Untuk memastikan experience dapat diterima secara maksimal, antarmuka harus bersifat efektif dan efisien. Untuk meningkatkan efektivitas serta efisiensi antarmuka, dapat digunakan analisis terkait task pada antarmuka. Music player merupakan perangkat keras atau
perangkat lunak yang berguna untuk memainkan file audio dalam format MP3 ataupun lainnya. Terkait music player sendiri, sampai saat ini tidak ditemukan antarmuka music player yang membantu pengguna untuk mendapatkan experience yang dibutuhkannya. Selain itu, task yang terdapat pada antarmuka kurang memperhatikan aspek efektivitas dan efisiensi. Menjawab permasalahan tersebut, maka perlu dibangun sebuah antarmuka dari music player yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Antarmuka music player harus dapat membantu pengguna mendapatkan experience dari musik yang didengarnya.
2. Interaksi pada task music player harus bersifat efektif dan efisien, tanpa ada informasi yang disembunyikan.
Dalam pembangunannya akan melalui dua proses, proses analisis dan proses perancangan. Proses analisis akan mengikuti framework dari usability engineering lifecycle yang telah dilakukan penyesuaian.kemudian dilakukan perancangan dan klasifikasi musik tertentu, kemudian pembangunan prototype digital Pengujian dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama pengujian menggunakan paper prototyping untuk mengukur tingkat efektivitas dari interakasi pada task yang dirancang. Sedangkan pada tahap kedua akan menggunakan prototype digital untuk mengukur tingkat efisiensi dari antarmuka beserta repon emosional dari pengguna. Untuk respon emosional, didapatkan bahwa responden antusias dalam menggunakan antarmuka, terutama pada task melihat story dari playlist. Tidak jarang pengguna merasa ingin tahu dan meminta untuk mendengarkan musik yang terdapat pada playlist. Hal ini memperlihatkan bahwa fitur klasifikasi berdasarkan emosi dan fitur story mampu menggugah pengguna untuk mencoba experience yang dirasakan orang lain.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah antarmuka music player yang mampu membantupengguna mendapatkan suatu experience. Hal tersebut dilakukan dengan penambahan fitur klasifikasiemosi, story, dan berbagi experience. Berhasil merancang antarmuka music player yang efektif dan efisien dengan penggunaan bifocal display dan law of proximity dan law of similiarity. Mendapatkan suatu bentuk cara optimalisasi komunikasi dengan pihak programmer dengan penggunaan task tree, skenario, dan storyboard.

Winanda. R. (2012). Pembangunan prototype antarmuka music player dengan fokus pada faktor emotionalexperience. Jurnal Sarjana Institut Teknologi Bandung bidang Teknik Elektro dan Informatika.


JURNAL 5
Merancang Sistem Evaluasi Layanan Kelas Virtual Kapasitas Jaringan Terbatas Menggunakan Metodologi SERVQUAL

Kelas Virtual adalah layanan yang mendukung proses pembelajaran digital yang memungkinkan proses belajar mengajar di kelas dapat dibagi ke dalam kelas hampir beberapa di beberapa lokasi yang berbeda. Manfaat dari layanan kelas virtual memecahkan masalah kurangnya guru di daerah pedesaan. Dengan menggunakan layanan ini, seorang guru dapat mengajar siswa di kelas yang berbeda (lokasi) meskipun guru tidak dapat melihat siswa secara langsung. Layanan ini didukung oleh adanya teknologi komputasi dan internet.
Pelaksanaan kelas virtual dalam kemampuan jaringan yang terbatas menghadapi banyak masalah. Masalah utama adalah masalah teknis seperti kapasitas jaringan terbatas. Makalah ini sedang dilakukan untuk merancang sistem evaluasi untuk kelas virtual. Sistem evaluasi dilakukan untuk mengevaluasi layanan kelas virtual dari perspektif pengguna. Sistem penilaian ini perlu dibangun agar sesuai atas sistem teknis untuk layanan kelas virtual yang telah dibuat seperti sistem pemantauan, audio-video alat uji dan sistem manajemen bandwidth. Sistem evaluasi akan dirancang dengan menggunakan metodologi SERVQUAL dan hasil dari sistem ini dapat digunakan untuk meningkatkan layanan kelas virtual dari dimensi mana sistem akan dievaluasi.
SERVQUAL merupakan skala multi-item ringkas dengan reliabilitas dan validitas yang baik yang dapat digunakan untuk lebih memahami harapan layanan dan persepsi konsumen dan, sebagai akibatnya, meningkatkan layanan. Instrumen yang telah dirancang untuk dapat diterapkan di seluruh spektrum yang luas dari layanan.
Jelas, dari perspektif Nilai Terbaik pengukuran kualitas pelayanan di sektor jasa harus mempertimbangkan harapan pelanggan rekening pelayanan serta persepsi pelayanan. Namun, jelas bahwa ada konsensus sedikit pendapat dan perselisihan banyak tentang bagaimana mengukur kualitas pelayanan. Salah satu kualitas layanan pengukuran model yang telah banyak digunakan adalah SERVQUAL tersebut. SERVQUAL sebagai pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengukur kualitas layanan telah membandingkan harapan pelanggan sebelum pertemuan layanan dan persepsi mereka terhadap layanan yang sebenarnya disampaikan. Instrumen SERVQUAL telah menjadi metode utama yang digunakan untuk mengukur persepsi konsumen terhadap kualitas layanan. Ia memiliki lima dimensi generik atau faktor dan dinyatakan sebagai berikut :
· Tangibles: fasilitas fisik, peralatan dan penampilan personil.
· Keandalan: Kemampuan untuk melakukan layanan yang dijanjikan dependably dan akurat.
· Responsif: Kesediaan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang cepat.
· Jaminan: (termasuk kompetensi, kredibilitas kesopanan, dan keamanan). Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka untuk menginspirasi kepercayaan dan keyakinan.
· Empati: (termasuk akses, komunikasi, memahami pelanggan). Peduli dan perhatian individual bahwa perusahaan menyediakan kepada pelanggan
Layanan kelas virtual terdiri dari dua layanan, streaming multimedia dan telepon internet. Streaming multimedia adalah suara dan transmisi gambar melalui internet (audio-video streaming). Layanan ini dapat menggunakan Video Lan Client (VLC). VLC adalah sebuah perangkat lunak open source yang berfungsi penuh untuk streaming multimedia dan pemutar multimedia. VLC adalah pemutar multimedia portabel, encoder, dan streamer mendukung berbagai jenis codec, format file dan berbagai protokol streaming. Sementara itu, internet telephony atau Voice over Internet (VoIP) teknologi Protokol adalah alternatif ke telepon konvensional (PSTN). Layanan telepon Internet menyediakan komunikasi suara melalui switching jaringan internet berbasis paket. Internet telephony trafik suara lewat dalam bentuk paket melalui jaringan IP (Internet Protocol). Melalui diskusi ini layanan dapat interaktif.
Proses yang terjadi di kelas virtual adalah tidak langsung (tidak langsung interaktif). Ada yang menjadi dua bagian ini kelas virtual, pengirim bagian dan bagian penerima. Bagian pengirim di mana guru mengajar dan direkam. File yang direkam sedang dikirim melalui jaringan langsung ke bagian penerima. Bagian penerima dimana siswa akan melihat guru dari televisi.
Sistem evaluasi untuk layanan kelas virtual diperlukan untuk memahami apa pandangan pengguna layanan ini apakah mereka puas atau tidak. Kepuasan pengguna adalah hal yang paling penting yang harus diperoleh untuk keberlanjutan dari satu layanan. Sistem ini dapat diimplementasikan di daerah pedesaan untuk mengetahui apa yang pengguna melihat untuk layanan kelas virtual yang telah diimplementasikan dan dioperasikan sebelumnya.

Darryl. (2012). Designing evaluation system for virtual class service in limited network capacity using SERVQUAL Methodology. Jurnal Sarjana Institut Teknologi Bandung bidang Teknik Elektro dan Informatika..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar